Penulis : Dimaz Akbar
Probolinggo,KraksaanOnline.com – Suku Tengger Bromo kembali melaksanakan upacara Yadnya Karo. Dimana upacara ini merupakan upacara hari raya terbesar masyarakat Tengger yang memiliki darah keturunan Kerajaan Majapahit. Untuk Suku Tengger Brang Wetan, upacara tahunan ini dipusatkan di Balai Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura dan berlangsung meriah.
Upacara adat Karo dipimpin dua orang yang dijuluki Ratu yang ditunjuk oleh warga suku Tengger. Ratu tidak selalu berkonotasi perempuan sehingga bisa saja seorang laki-laki. Pada perayaan Karo kali ini, Ki Petinggi Ngadisari Supoyo dan Petinggi Wonotoro Mistaman menjadi Ratu.
“Perayaan Yadnya Karo atau istilah sebutan Hari Raya Kedua itu, merupakan wujud rasa syukur warga Tengger terhadap leluhur,” ujar Dukun Pandita Sutomo, “Kamis (7/9/2017).
Puncak pembukaan upacara tradisi itu diawali dengan ritual Tari Sodoran. Tari Sodoran sendiri merupakan ritual tradisi sakral yang melambangkan pertemuan dua bibit manusia yakni, laki-laki dan perempuan. Dari keduanya, dimulailah kehidupan alam semesta.
Dalam tarian itu, masing-masing penari membawa sebuah tongkat bambu berserabut kelapa yang didalamnya terdapat biji-bijian dari palawija. Namun, sebelumnya, para temanten itu mengikuti ritual memohon pangestu punden atau restu pemilik makam. Setelah itu, temanten diarak menuju balai Desa Ngadisari.
“Pertemuan antara laki-laki dan perempuan ini yang menjadikan manusia pertama. Bagi kalangan masyarakat suku Tengger, biji-bijian yang dipecahkan dari dalam tongkat itu, dipercaya akan memberikan kelestarian keturunan bagi setiap pasangan,” terang Sutomo.
Namun sebelum tari Sodoran dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan pembacaan mantra. Kemudian Jimat Kelontongan dimandikan diiringi dengan Tari Sodoran, sebagai bagian terpenting dari rangkaian upacara Karo. Jimat Kelontongan merupakan sekumpulan benda keramat.
Upacara dilanjutkan dengan ritual Tumpeng Gede sebagai wujud perasaan syukur dangan hasil panen yang melimpah dan dianugerahi tanah yang subur. Tumpeng-tumpeng tersebut dikumpulkan dari warga, lalu dimantrakan oleh dukun adat desa setempat dan dibagi-bagikan kepada warga digunakan sebagai Sesandingan. Ritual Sesandingan inilah menjadi pamungkas dari Yadnya Karo. (Maz)