PURWAKARTA. Peraturan daerah (Perda) Kesehatan Jiwa yang saat ini tengah digodok oleh Pansus V DPRD Provinsi Jawa Barat bakal segera rampung. Hal tersebut disampaikan anggota Komisi V DPRD Jawa Barat H Rustandie SH saat ditemui di kediamannya usai menyambangi rumah salah seorang warga Desa Mulyamekar yang mengalami gangguan kesehatan jiwa, Minggu (5/11).
"Perda kesehatan jiwa ini menjadi penting karena masih kurangnya sarana prasarana yang mendukung penanganan pasien dengan gangguan kesehatan jiwa. Di Provinsi Jawa barat saja baru ada satu Rumah Sakit Jiwa (RSJ), yakni RSJ Cisarua. Pun halnya dengan masih kurangnya SDM dokter spesialis jiwa. Di Purwakarta misalnya, hanya ada seorang," kata dia.
Rustandie juga menilai pemahaman masyarakat masih minim terkait gangguan kesehatan jiwa. "Masih banyak yang menganggap ini guna-guna, bukannya dibawa ke rumah sakit jiwa malah ke tempat lain yang tidak seharusnya," ujarnya.
Dengan adanya Perda Kesehatan Jiwa, sambung dia, maka setiap Rumah Sakit Umum Daerah harus memiliki 10 bedkhusus untuk pasien kesehatan jiwa. "Perda tersebut juga akan memudahkan kerjasama dengan Yayasan Mentari Hati Kota Tasikmalaya pimpinan Dadang Heryadi atau yayasan sejenis lainnya," kata Rustandie.
Selain itu, dengan terwujudnya Perda Kesehatan Jiwa, kata dia, tidak ada lagi kasus kurangnya obat-obatan dan tenaga kesehatan. "Bahkan dalam perda tersebut juga akan menyediakan beasiswa pendidikan dokter spesialis jiwa," ujarnya.
Sebelumnya, di hari yang sama Rustandie menjenguk penderita gangguan kesehatan jiwa di Kampung Cikopak RT 03/RW 13 Desa Mulyamekar, Kecamatan Babakan Cikao.
Kedatangan legislator yang getol menyuarakan "Jawa Barat Bebas Pasung" itu untuk memastikan apakah ada perlakuan keluarga yang kurang manusiawi terhadap Tuti, 40, penderita gangguan jiwa itu. "Setelah berbicara dengan keluarga Tuti, yakni ibunya, Alhamdulillah selama ini pihak keluarga memperlakukan Tuti dengan baik," kata dia.
Kedatangan Rustandie diterima langsung Hj Ijah (60), ibunda Tuti. Selama hampir satu jam, Rustandie mendengar curhatan Ijah. Menurut Ijah, dirinya sendiri sudah lupa asal muasal anak sulungnya itu terganggu jiwanya. "Karena sakitnya Tuti sudah sejak 1994 lalu," ujarnya.
Hanya saja, kata Ijah, anaknya mendadak mengalami gangguan kesehatan jiwa sejak duduk di bangku SMEA kelas II. "Perubahan Tuti terjadi mendadak. Mendiang ayahnya juga masih hidup, bahkan sempat ikut merawat dan ikhtiar mengobati Tuti," kata Ijah.
Namun hingga sekarang, sambung Ijah, kondisi Tuti tidak banyak berubah. "Tuti ini selalu melamun dan mondar-mandir. Tapi dia tak pernah mengamuk apalagi sampai mengganggu tetangga," ujarnya.
Ijah pun merasa bersyukur ada yang memperhatikan kondisi Tuti. "Saya ucapkan terimakasih kepada H Rustandie mau membantu pengobatan Tuti. Kita hanya bisa berikhtiar, Insya Allah ada jalannya," pungkas Ijah. (DeR)