KREJENGAN,Seni tradisional Ronjengan bangkit kembali, setelah sekian lama dan seakan tertidur pulas di tengah hingar bingar pemanfaatan teknologi serta masuknya budaya – budaya asing di Indonesia sejak beberapa dekade yang silam. Kedua hal tersebut seakan turut membenamkan salah satu kearifan lokal Indonesia yang juga terdapat di Kabupaten Probolinggo ini.
Ronjengan dalam bahasa Jawa disebut juga dengan lesung, adalah alat tradisional warisan nenek moyang terbuat dari kayu berbentuk seperti perahu berukuran kecil yang digunakan untuk mengolah padi atau gabah menjadi beras dengan cara ditumbuk menggunakan alu (seperti tongkat kayu besar dan panjang).
Dahulu para wanita yang bekerja menumbuk padi tidak secara serentak menumbukkan alu mereka, melainkan secara bergantian. Inilah yang pada akhirnya menghasilkan irama musik. Dari sini kemudian lahir kesenian musik tradisional yang punya banyak sebutan ini, dan di kecamatan Krejengan Kabupaten Probolinggo disebut sebagai kesenian “Ronjengan”.
Tidur bukanlah berarti mati, tetapi menunggu siapapun yang tergerak hatinya untuk membangunkannya kembali. Atas inisiatif Nurul Huda Kepala Desa Krejengan beserta kepedulian masyarakat desa terhadap budaya lokal setempat, seni Ronjengan pun sukses dibangunkan kembali dengan nafas baru melalui Festival musik Ronjengan antar RT lingkup desa Krejengan, Minggu (09/09/2018) pagi.
Festival yang digelar dalam rangka semarak selamatan desa (Kadisah) desa Krejengan tahun 2018 ini dilaksanakan di balai desa Krejengan. Kesan penasaran bercampur kerinduan seakan terpancar dari ekspresi masyarakat desa dari berbagai kalangan umur tersebut.
Ibarat kupu-kupu yang baru keluar dari pertapaan kepompongnya, seni Ronjengan ini pun seakan menjelma berhias warna -warni indah. Karena turut mengkolaborasikan generasi muda di dalam masing-masing grup Ronjengan itu, maka jadilah seni Ronjengan Krejengan ini menjadi sebuah suguhan seni yang apik. Ada seni musik, seni teater, dan seni koreografi yang terpadu harmonis bersama pernak pernik kostum yang menarik.
Nurul Huda mengungkapkan, bahwa meskipun pemanfaatan alat Ronjengan itu sendiri sudah lama ditinggalkan masyarakat petani, namun adanya nilai – nilai luhur yang terkandung di dalam Ronjengan harus diangkat kembali agar menjadi sebuah pembelajaran bersama tentang adanya budaya asli yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
“Dengan ukuran ronjengan yang begitu besar tentu menumbuk padi akan terasa berat jika hanya di kerjakan satu orang. Di sinilah nilai kebersamaan terjalin. Para warga akan saling bekerja sama untuk menumbuk padi. Saat itulah mereka bisa bersosialisasi dan bercengkerama. Warga pun bisa lebih guyub rukun satu dengan yang lain, inilah salah satu budaya yang harus kita pertahankan,” ungkap ketua Apdesi Kabupaten Probolinggo ini.
Sementara Zainul Haq, Koordinator Festival Ronjengan turut menambahkan, festival unik ini seakan memberikan inspirasi baru bagi dirinya selaku generasi muda di desa krejengan. Meski warga asli krejengan namun sebelumnya ia mengaku tidak paham dengan adanya kesenian lokal di desanya ini, bahkan belum pernah menyaksikan secara langsung.
Namun, lanjutnya, meski persiapan waktunya hanya sepekan tetapi dengan adanya para sesepuh yang masih bersemangat dan sabar mengajarkan seni ini kepada yang muda, semua kesulitan terasa ringan dan mudah bersama cengkrama hangat khas warga desa.
“Alhasil manakala budaya tradisional ini dikolaborasikan bersama sentuhan modern, ternyata memberikan Harmonisasi seni yang menarik dan wow….! masyarakat sangat antusias sekali dengan gebrakan kami ini, tandasnya dengan bangga. (Trisianto)
REKOMENDASI PEMBACA :