Dengan hormat,
Perkenankanlah saya, Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, kini berdomisili hukum sementara di Lapas Sukamiskin, Bandung. Bersama ini, saya hendak memberikan sumbangan pemikiran saya mengenai apakah masih tepat jika NKRI disebut sebagai Negara Hukum.
Saya menyadari betapa sering Bapak Presiden, dalam berbagai kesempatan, menyatakan bahwa NKRI adalah Negara Hukum. Oleh karena itu, penegakkan hukum harus dilakukan secara adil, tanpa tebang pilih.
Cita-cita pejuang reformasi adalah penegakkan hukum, khususnya pemberantasan korupsi. Atas dasar itu, lahirlah KPK, berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002. Namun, sangat disayangkan, disahkannya UU KPK tanpa keberadaan Dewan Pengawas justru menyebabkan kuasa anarkis dari para penyidik, termasuk di dalamnya Novel Baswedan.
Tak sedikit dari mereka melakukan penyidikan secara tebang pilih, menyita tanpa berita acara, merekayasa keterangan saksi dan sejumlah cara menekan bebas dilakukan.
Banyak pelaku korupsi yang hukumannya tak setimpal dengan kejahatan yang dilakukan. Contohnya, lebih kurang 40 anggota DPRD Malang yang terima gratifikasi 5-10 juta tapi dijerat hukum 3-4 tahun. Sedangkan sosok Bibit-Chandra yang raup ratusan hingga miliaran rupiah, perkara korupsinya justru bebas diadili karena ada perlindungan dari mantan Presiden SBY melalui deponeering.
Itu bukan yang pertama dan terakhir kalinya KPK melakukan tebang pilih. Dari hasil penelitian saya selama hidup dan tinggal di Lapas Sukamiskin, saya memperoleh banyak temuan hasil tebang pilih KPK. Beberapa di antaranya ialah Ridwan Mukti eks Gubernur Bengkulu yang divonis tanpa bukti dan eks Dirut PT Dirgantara Indonesia (DI) yang divonis hanya dengan menghadirkan satu saksi dengan keterangan yang direkayasa.
Beruntung kini Mahkamah Agung nampaknya sadar banyak hasil penyidikan KPK yang melanggar hukum acara, sehingga banyak tuntutan yang akhirnya dianulir.
Ketika Presiden tetap mensahkan Revisi UU KPK dan melantik Dewan Pengawas, ia dituduh melemahkan KPK.
Masih hangat pula di ingatan kita, ketika Novel Baswedan menjadi salah satu dari 75 pegawai KPK yang gagal dalam tes wawasan kebangsaan (TWK). Sebagian menuding, itu hanya akal-akalan Firli Bahuri untuk mendepak Novel dari tubuh KPK. Novel sebelumnya juga sempat meminta KPK untuk memecat Firli.
Ketika rengekannya terkait hasil TWK tak digubris, Novel mengerahkan badan peradilan baru yakni Ombusdman. Tiap menghadapi masalah hukum, Novel berhasil “memperalat” Ombusdman. Salah satu contohnya, saat Kejaksaan mengabaikan putusan Pengadilan Bengkulu terkait pelimpahan kasus pembunuhan yang menyeret Novel hanya karena selembar surat dari Ombusdman. Hal ini jelas salah mengingat Ombusdman tak memiliki kapasitas dalam mencampuri putusan pengadilan.
Reformasi pemberantasan korupsi pun gagal. Berdasarkan temuan Pansus DPR RI tahun 2018, tanpa adanya dewan pengawas, KPK malah dipenuhi oknum-oknum koruptor yang kerap menyalahgunakan kekuasaan.
Kabar mengenai korupsi oknum-oknum KPK sebelumnya saya dengar dari mulut klien saya kala itu, M. Nazaruddin. Ketika mendampingi beliau di Singapura dan Bogota, saya dengar banyak oknum yang menghubungi beliau untuk “ngobyek”. Nazaruddin sebelumnya juga sempat menyurati SBY agar kasusnya jangan direkayasa untuk politik.
Karena saya tahu banyak, KPK lantas menolak kehadiran saya untuk membela Nazaruddin. KPK pun berhasil, karena nampaknya, tanpa saya mereka berhasil “menjinakkan” Nazaruddin.
Sebagai praktisi, saya banyak mengungkap kasus-kasus korupsi di badan KPK. Meski tak memiliki dukungan dari media, saya tetap akan menyuarakan kejahatan oknum-oknum KPK dan simpatisannya yang terlibat pidana.
Saya yakin suatu hari kelak ada di antara mereka yang dipenjarakan, termasuk Novel Baswedan, sang pembunuh bengis dan Prof. Denny, si koruptor kasus payment gateway.
Kembali ke penegakkan hukum, saya izin bertanya kepada Pak Presiden. Berapa biaya negara yang habis berkat demo tanpa arah, tanpa memberi masukan untuk perbaikan hukum yang lebih baik?
Gerakan ICW bukan gerakan murni penegakkan hukum. ICW bersuara karena dibayar KPK. Suara ICW bukan suara netral dalam menegakkan hukum.
Saya yakin ICW tak sanggup mengupas buku-buku saya tentang oknum KPK yang korup. Seperti contohnya Bambang Widjojanto, penyandang status tersangka yang tak ada rasa malu mengkritik KPK-nya Firli Bahuri.
Bukankah Bambang hingga kini masih menikmati gaji dari negara? Sama halnya dengan Prof. Denny Indrayana. Mereka tak lebih dari sosok yang berlagak bersih memperjuangkan keadilan, tanpa sadar bahwa dirinya tersangka kasus pidana.
Akhir kata, semoga masukkan saya bisa bermanfaat. Teriring doa, agar kasus burung walet Novel Baswedan dapat segera kembali diadili.
***MIL (sesuai dengan surat tulisan OC Kaligis)